Saatnya desalinasi menggunakan RO untuk menjawab masalah global terkait penurunan persediaan air tawar yang menghantui banyak wilayah.
60 tahun terakhir, pemanfaatan sumber air yang melimpah seperti air laut dan air payau mendapat perhatian khusus.
Hal ini bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan air bersih yang sudah menjadi masalah umum di hampir semua negara.
Semenjak saat itu, praktek desalinasi yang merupakan pengolahan air yang lebih kompleks, berkembang begitu pesat.
Meski terbilang kompleks, nyatanya di tahun 1990, desalinasi air laut dan air payau mencapai 7.5 juta meter kubik per harinya.
Sementara pada tahun 2023, sebanyak 115 juta meter kubik per hari dapat tercapai menggunakan teknologi desalinasi.
Dari data tersebut dapat kita amati, bahwa teknologi desalinasi masih menjadi solusi yang terdepan mengatasi kelangkaan air.
Seperti yang sering kita bahas pada artikel sebelumnya, masalah kelangkaan air di semua wilayah, berasal dari konsumsi yang kian meningkat.
Contohnya saja, peningkatan operasional pada tahun 1990 dan 2023, berasal dari pertumbuhan perkotaan, pertanian, dan juga industri.
Tiga sektor tersebut yang setidaknya paling mendominasi dalam kompetisi penggunaan air bersih, dari semua sumber yang ada.
Peningkatan penggunaan teknologi desalinasi juga terjadi pada pengolahan air limbah yang telah mencapai lebih dari 60 juta meter kubik per tahun.
Air Laut Sebagai Salah Satu Sumber Utama
Air laut, menjadi jenis air yang paling banyak menjaddi sumber utama untuk pengolahan air menggunakan teknologi desalinasi.
Meski sejatinya pada beberapa wilayah yang memiliki keberadaan air payau yang cukup juga menjadi sumber untuk pengolahan air menggunakan desalinasi.
Mungkin ada yang bertanya, apa bedanya?
Sederhana, karena air payau masih memiliki karakter air tawar, yang artinya kandungan garamnya tidak setinggi air laut.
Artinya, pengolahan air payau jauh lebih ringan daripada harus mengolah air laut yang mungkin bisa kita katakan setara dengan air limbah.
Negara seperti Jepang, China, Taiwan dan juga Korea Selatan menerapkan praktik pengolahan air menggunakan teknologi untuk desalinasi.
Negara-negara tersebut secara umum memiliki luas wilayah yang kecil dengan kepadatan penduduk yang cukup signifikan.
Sehingga pemilihan air laut menjadi preferensi dari negara tersebut di samping juga tidak tersedianya sumber air payau, atau hanya sedikit tersedia.
Adapun di wilayah Amerika Bagian utara, pemanfaatan air payau sebagai sumber pengolahan air untuk desalinasi lebih banyak.
Secara lebih spesifik lagi, dari total 115 juta meter kubik air per hari yang berasal dari desalinasi, 60% menggunakan air yang bersumber dari laut.
Sementara penggunaan air payau sebanyak 19%, air limbah sebanyak 9% dan sisanya adalah air tawar sebanyak 8% dan air murni sebanyak 4%.
Saatnya untuk Mulai Desalinasi dengan Menggunakan Teknik RO
Terdapat beberapa cara untuk mengolah air dalam proses desalinasi selain menggunakan RO, meski sekarang sudah saatnya beralih ke RO.
Data menunjukkan bahwa secara global, lebih dari 74% fasilitas desalinasi menggunakan teknik berbasis membrane, yaitu reverse osmosis.
Pemilihan RO sebagai teknik desalinasi hingga mendominasi kancah ‘perdesalinasian’ berasal dari pertimbangan biaya investasi dan konsumsi energi.
Teknik desalinasi yang melibatkan proses ‘thermal’ atau suhu tinggi, memakan biaya investasi konsumsi energi dalam jumlah besar, berbeda dengan RO.
Hal ini dapat kita lihat pada teknik seperti MED atau MSF yang keduanya menggunakan energi panas untuk mengolah air laut atau air payau.
Atau secara sederhana, keduanya merupakan turunan dari cara yang kerap kita kenal dengan istilah, distilasi.
Tentu bisa kita bayangkan, jika saat distilasi di laboratorium saja memerlukan bahan bakar dalam jumlah tertentu hanya untuk menghasilkan beberapa tetes air, lalu berapa banyak energi untuk menghasilkan 115 juta meter kubik air per hari?
Tentu dari titik ini, suka tidak suka, pengolahan yang berbasis suhu, akan menghasilkan masalah lain yaitu emisi karbon.
Karena dasar inilah, pengolahan air dengan teknologi desalinasi berbasis membrane, menguasai lebih dari 74% desalinasi global.
Karena tentu saja, kita tidak ingin, menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain, bukan?
Penggunaan Air dari Hasil Desalinasi
Lebih dari 75% air yang terolah menggunakan teknologi desalinasi berguna untuk mencukupi kebutuhan air minum, sementara 20% sisanya untuk industri.
Data ini memberikan gambaran pada kita bagaimana fenomena terkait pertambahan penduduk dan juga urbanisasi mempengaruhi interaksi manusia dengan air.
Bahkan negara-negara TImur Tengah sangat bergantung dengan desalinasi sebagai sumber utama untuk mencukupi kebutuhan air untuk keseharian mereka.
Karena kita tahu bahwa negara-negara di wilayah tersebut kebanyakan beriklim gurun yang tentu kadar curah hujan tiap tahunnya sangat sedikit.
Vegetasi juga jarang tumbuh, yang menyebabkan jarang terdapat penampungan air yang terbentuk secara alami di dalam tanah.
Satu-satunya sumber air terdekat yang senatiasa tersedia sepanjang tahun adalah air laut, dan desalinasi adalah jawabannya.
Sementara di sisi lain, negara dengan curah hujan yang mencukup serta kondisi geografis yang masih memiliki gunung api, lebih banyak memanfaatkan air hasil desalinasi untuk keperluan industri.
Sebut saja, China, Taiwan, Korea Selatan, India, Brazil dan termasuk Indonesia, merupakan negara-negara yang menggunakan desalinasi untuk mencukupi kebutuhan industri.
Efisiensi Desalinasi Menggunakan Membran
Air dari pengolahan hasil teknologi desalinasi sekarang sudah mengalami penurunan harga yang cukup signifikan.
Harga tersebut dapat ditekan karena adanya teknologi pada membran yang semakin berkembang.
Akibat dari adanya perkembangan pada teknologi membran tersebut, konsumsi energi cukup ikut menurun selama 20 tahun terakhir.
Penurunan konsumsi energi bahkan bisa tergolong signifikan dengan angka 50% dari sebelumnya.
Dari teknologi berbasis membran juga, tentunya selain mengurangi konsumsi, efek lainnya adalah potensi untuk dapat menekan jejak karbon.
Yang mana, sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa salah satu ancaman paling nyata terhadap krisis air bersih adalah perubahan iklim.
Peningkatan suhu pada bumi menyebabkan berbagai kemungkinan bencana seperti banjir dan juga kemarau panjang.
Keduanya dapat memberikan akibat yang signifikan pada persediaan sumber air bersih yang tersedia, seperti sungai, danau dan semisalnya.
Tantangan pada Desalinasi Berbasis Membran
“Tidak ada gading yang tak retak” sepertinya itulah pepatah yang paling tepat untuk menggambarkan teknologi desalinasi menggunakan membran.
Meski telah kita bahas sebelumnya, bagaimana desalinasi dengan menggunakan membran dapat memberikan dampak positif, tapi bukan berarti tidak ada tantangan pada operasional.
Membran, akan sangat tergantung dari kondisi air baku yang masuk dengan segala kontaminan yang ada di dalamnya.
Artinya dengan kondisi air baku yang memiliki kontaminan tinggi, maka membran akan lebih cepat kotor dan tersumbat.
Sumbatan ini dapat berasal dari kontaminan organik maupun anorganik yang terakumulasi meski telah melalui beberapa tahapan pengolahan sebelumnya.
Hal ini yang masih menjadi tantangan pada operasional teknologi desalinasi berbasis membran.
Pasalnya adanya resiko penurunan performa karena penumpukan kerak pada membran menyebabkan beberapa hal lain.
Yang paling terlihat konsumsi bahan kimia, khususnya untuk pencucian membran akan meningkat, yang berakibat pada beban biaya operasional.
Selain itu, kondisi tersebut juga menjadikan konsumsi energi jauh lebih tinggi dan tentu menghasilkan jejak karbon lebih tinggi.
Tujuan dari sisi keberlanjutan dengan adannya kemungkinann resiko ini juga akan terancam karena bisa jadi praktek desalinasi yang demikian akan berdampak pada lingkungan dalam jangka panjang.
Secara umum, penurunan performa karena akumulasi endapan pada membran, dapat berasal dari beberapa hal berikut
- Kontaminan atau sedimen tersuspensi dari partikel-partikel yang ada di air
- Kontaminan anorganik seperti besi dan mangan
- Kontaminan organik
- Biofilm karena pertumbuhan bakteri di permukaan membran
- Kerak yang menumpuk yang berasal dari bahan-bahan terlarut
Sehingga dengan adanya faktor-faktor di atas, pengolahan air sebelum menjadi air umpan untuk kemudian melalui proses desalinasi menjadi penting.
Hal ini kembali lagi, untuk menjaga kemungkinan adanya penurunan performa dari membran yang berasal dari faktor-faktor tersebut.
Meski pada beberapa jenis membran saat ini telah memiliki fitur yang mampu membuat membran lebih tahan terhadap endapan sedimen.
Tetap saja, tindakan preventif yang bisa kita lakukan dengan betul-betul memahami karakteristik air baku, lebih utama.
Peluang Besar Menjawab Tantangan Global
Desalinasi air laut dan air payau menggunakan RO telah mengalami kenaikan yang cukup pesat untuk mengatasi masalah air secara global.
Penerapan RO sebagai teknik desalinasi memiliki banyak keunggulan terhadap beberapa teknik desalinasi yang menggunakan temperatur tinggi.
Teknik RO lebih mudah untuk bisa selaras dengan tujuan berkelanjutan global yang menjadi perhatian beberapa waktu terakhir.
Apalagi jika sumber energi berasal energi baru atau energi terbarukan, maka isu terkait jejak karbon dapat sepenuhnya teratasi.
Namun, penggunaan RO juga bukan tanpa kendala dan tantangan, permasalahn mengenai penurunan performa karena akumulasi kotoran dapat terjadi.
Oleh karenanya, pengolahan air sebelum masuk ke dalam membran menjadi penting untuk menanggulangi kemungkinan penumpukan kotoran pada permukaan membran.
Selain itu, perkembangan material dan pengaman membran juga senantiasa berkembang untuk mencapai performa yang lebih baik.